Refleksi Usia 25 Tahun: Belajar Menerima, Bertumbuh, dan Menyayangi Diri Sendiri

"Bagaimana rasanya berada di usia dua puluh lima tahun?"

Sebuah pertanyaan sederhana, tapi penuh makna. Di usia ini, banyak dari kita mulai merefleksikan perjalanan hidup yang sudah dilalui dan masa depan yang ingin dituju. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi refleksi pribadi tentang usia 25 tahun -- sebuah fase yang lebih menantang, menenangkan, dan penuh pelajaran hidup dari yang saya bayangkan.

🌙

Ekspektasi vs. Realita

Saat remaja, saya membayangkan usia 25 tahun sebagai fase "kehidupan ideal"— menikah, punya anak, rumah pribadi, karier sukses, dan finansial stabil. Namun, kenyataannya berbeda. Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Ada banyak kegagalan dan penolakan yang saya hadapi di usia 21-24. Namun, justru dari sana saya belajar tumbuh, beradaptasi, dan menemukan makna baru dalam hidup.

"Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk" -Tan Malaka-

Menginjak usia dua puluh lima tahun, cara berpikir dan nilai-nilai yang saya yakini sudah banyak berubah. Saya sudah tidak seambisius dulu, hidup saya sudah lebih santai. Saya tidak lagi depresi jika saya gagal meraih sesuatu, bahkan saya merespon kegagalan dengan tenang sambil ber-mindset "Ya sudahlah, belum rezeki. InshaAllah ada rezeki lain yang jauh lebih baik dari ini". Singkatnya, saya yang berusia dua puluh lima tahun lebih bodo amat pada hal-hal yang belum bisa saya capai atau hal-hal yang bukan rezeki saya. 

Ketika saya menerapkan mindset tersebut, hidup saya jauh lebih tenang. Saya tidak lagi memandang pencapaian orang lain dengan rasa iri atau berkecil hati dengan kondisi yang saya alami. Saya menikmati segala proses yang saya lalui dalam hidup saya. Karena saya percaya dalam setiap proses yang saya lalui membentuk saya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.

Pelajaran Hidup di Usia 25 Tahun

Berikut ini adalah beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan di usia 25:

1. Sayangi dan Utamakan Dirimu Sendiri

Saya pernah berusaha keras mendapatkan validasi dari orang lain, bahkan sampai mengorbankan kebutuhan pribadi. Namun perhatian dari orang lain ternyata hanya memberi euforia sesaat. Pada akhirnya, saya sadar bahwa kita harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain.

Pada usia dua puluh lima tahun, saya menyadari bahwa sangat capek berusaha keras untuk mendapatkan perhatian/pengakuan dari orang lain. Karenanya saya memutuskan untuk fokus menyayangi, mengembangkan, dan membahagiakan diri saya sendiri lebih dari apa yang saya lakukan pada orang lain. 

Saya percaya, diri saya yang berdaya dan berharga dibentuk oleh mindset dan penghargaan terhadap diri saya sendiri bukan hasil dari validasi orang lain. So, please love yourself firstt!!!

2. Belajar Menerima dan Berdamai dengan Kegagalan

Pada usia dua puluh lima tahun, saya belajar bahwa hidup tidak selalu sesuai harapan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga. Namun, menyalahkan keadaan atau takdir bukan solusi.

Karenanya penting bagi kita untuk belajar menerima dan berdamai dengan kegagalan. Hal ini memang sangat tidak mudah apalagi untuk kita yang high achiever. Akan tetapi percayalah, ketika kita sudah mengenal diri kita dan tau bentuk mekanisme pertahanan diri yang harus kita lakukan ketika menghadapi kegagalan. Kita tidak akan berlarut-larut dalam suasana kegagalan dan bahkan turut mempercepat pemulihan luka batin akibat kegagalan tersebut.  

Gagal itu biasa. Tapi yang luar biasa adalah ketika kita bisa menerima dan berdamai dengannya. Saya belajar bahwa kegagalan bukan akhir, tapi bagian dari proses pembelajaran.

Dalam psikologi, ini dikenal sebagai self-compassion—kesadaran bahwa penderitaan dan kegagalan adalah bagian dari pengalaman manusia, dan dengan rasa peduli terhadap diri sendiri, kita bisa bangkit lebih kuat.

3. Sederhanakan Pikiran, Jangan Bandingkan Diri dengan Orang Lain

Ketika kita sudah memasuki usia dua puluh lima tahun, akan banyak sekali menemukan trigger yang menggangu psikis kita. Saat kita membuka Instagram misalnya, isi dari feeds, stories, dan reels Instagram akan dipenuhi oleh kehidupan teman sebaya kita yang lamaran, menikah, melahirkan, memiliki rumah baru, karir cemerlang, lulus pendidikan tinggi, dsb. Sedangkan diri kita masih gini-gini saja dan belum membuat pencapaian seperti apa yang ditampilkan dalam media sosial.

Hal ini seringkali membuat kita merasa insecure dan isi pikiran kita dipenuhi oleh ketidakpuasan dalam hidup yang kita jalani. Karenanya salah satu hal yang saya tanamkan ketika saya dewasa ialah, belajar untuk mengendalikan isi pikiran bukan saya yang dikendalikan pikiran. Pilah mana peristiwa baik yang bisa kita renungkan dan pilah mana peristiwa yang cukup kita abaikan. 

Bagaimana pun, apa yang terjadi orang lain diluar kuasa kita. Mereka berbahagia atas pencapaian mereka, itu merupakan hak mereka. Jika kita merasa tidak suka melihat pencapaian orang lain, itu masalah kita. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain, akan tetapi kita bisa mengendalikan diri kita 😊

Tips dari saya untuk poin ini adalah fokus pada diri sendiri, batasi konsumsi media sosial jika perlu, dan ingat: setiap orang punya waktunya masing-masing✨

4. Belajar Manajemen Keuangan Sejak Dini

Usia 25 adalah saat yang tepat untuk belajar mengelola keuangan. Dengan biaya hidup yang terus meningkat dan persaingan kerja yang ketat, mengatur keuangan menjadi kemampuan penting.

Karenanya selagi memiliki penghasilan, belajarlah untuk mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak ada kebutuhan yang mendesak dan diperlukan, sebisa mungkin tabung uang sebanyak yang kita bisa. 

Sejak saya memiliki penghasilan sendiri, saya belajar memanage keuangan. Saya belajar dari akun financial planner yang ada di Instagram atau dari pengalaman hidup seseorang yang lebih senior dari saya. Tentu saja saya tidak sepenuhnya mengikuti anjuran yang disarankan, tapi saya mempelajari dan menerapkan sesuai dengan kapasitas keuangan saya. Saya merasa hal ini sangat worth it untuk dilakukan, karena alhamdulillah penghasilan yang saya dapatkan bisa saya kelola untuk berbagai hal dan cukup sehingga tidak sampai meninggalkan hutang. 

Kalau kata ibu saya, kemampuan memanage keuangan ini merupakan skill yang tidak semua orang bisa lakukan. Bahkan dalam buku psychology of money yang saya baca mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi atau orang yang berpenghasilan banyak belum tentu memiliki kemampuan memanage keuangan dengan baik. Karenanya sebagai orang dewasa, penting sekali untuk melatih kemampuan memanage keuangan dengan baik. 

5. Perbanyak rasa syukur 

Dulu, saya hanya bersyukur ketika mendapatkan apa yang saya inginkan. Tapi kini, saya belajar bersyukur atas hal-hal kecil sekalipun—kesehatan, kesempatan belajar, bahkan kegagalan yang memberi pelajaran berharga. Rasa syukur yang tulus menciptakan ketenangan dan emosi positif yang tidak bisa digantikan oleh pencapaian apa pun.

🌙

Penutup

Usia 25 bukan akhir dari pencarian, tapi awal dari fase hidup yang lebih dewasa dan penuh kesadaran. Saya tidak ingin mengeneralisir bahwa semua orang harus mengalami hal yang sama. Namun, semoga refleksi ini bisa memberikan sudut pandang baru bagi kamu yang sedang berada di usia yang sama.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Jika kamu punya refleksi usia 25 tahun yang ingin dibagikan, yuk tulis di kolom komentar!

Comments