QLC SERIES #1: LIKA-LIKU PERJALANAN

Disclaimer: Tulisan ini akan cukup panjang. Cerita ini murni saya tulis dengan tujuan untuk melakukan terapi pada diri saya, saya tidak bermaksud menyinggung siapapun. 

Senin, 28 Februari 2022

Hallo teman-teman, bagaimana kabarnya? semoga kalian senantiasa sehat selalu dimana pun kalian berada ya..

Kali ini saya sedang agak-agak mellow. Saya baru saja melihat tulisan-tulisan lama saya di blog ini, khususnya pada tulisan perjalanan hidup saya di tahun 2018. Saya baca kembali tulisan tersebut dan respon saya "wow, aku pernah di posisi sesibuk ini ya" hehe. Memang di tulisan tersebut berisi kegiatan yang saya lakukan sekaligus momen-momen terbaik dalam hidup saya terjadi dalam tahun ini, sungguh masa-masa yang sangat membahagiakan dalam hidup saya. 

Saya pun menyadari bahwa itulah salah satu kegunaannya menulis, dengan menulis kita bisa mengabadikan sejarah. Dulu awalnya saya membangun blog ini hanya sekedar agar ilmu blogger saya tetap bermanfaat sekaligus mempertajam skill penulisan saya. Akhirnya saya pun mengisi blog ini dengan asal saja, entah itu menuliskan pengalaman yang menyenangkan, hal yang berkesan, atau sharing seputar keilmuan psikologi yang menjadi konsentrasi saya. Tapi setelah beberapa tahun berlalu, pengalaman dan momen-momen yang telah saya tuliskan di blog menjadi kenangan berharga tersendiri bagi saya. Saya merasa senang bisa flashback ke masa-masa tersebut melalui tulisan yang saya abadikan. 

Blog ini saya buat di tahun 2016, pada waktu itu memang saya tidak sebegitu aktif menulis, namun masih ada beberapa postingan di blog ini. Pada tahun 2018 saat saya mulai aktif-aktifnya ikut komunitas jurnalisme sekaligus minat menulis saya cukup tinggi sehingga saya memutuskan untuk mengaktifkan blog ini sekaligus cukup banyak memposting tulisan di tahun ini. Meskipun aktivitas perkuliahan saya sangat padat tapi saya masih bisa meluangkan waktu untuk menghidupi blog ini. Tentu saja tulisan-tulisan saya yang paling berkesan berasal di tahun 2018, setelahnya saya hiatus selama 2 tahun dan baru kembali menghidupi blog ini di tahun 2021. Bismillah semoga saya bisa kembali konsisten menghidupi blog ini.

  • Flashback di tahun 2018

Bicara tentang tahun 2018 memang tahunnya saya. Meskipun ada beberapa hal yang tidak sesuai rencana atau diluar rencana saya, alhamdulillah di tahun ini banyak sekali hal baik yang terjadi dalam hidup saya. Diawali dari saya ikut acara Mata Najwa, memiliki teman-teman yang mensupport saya, menjadi sekretaris DEMA-F, PKL ke Ditresnarkoba Polda Jatim, seminar proposal skripsi, berpartisipasi dalam konferensi internasional, menjadi pendamping PBAK F-Psi, foto untuk ijazah, foto bersama teman sekelas di semester 1, dan pada saat itu saya sedang menjalin komitmen dengan seorang pria. Segalanya terjadi begitu lancar pada tahun ini. Sungguh sangat sempurna bukan?

  • Flashback di tahun 2019

Menginjak tahun 2019, pada 2-3 bulan diawal masih cukup lancar. Beberapa target terselesaikan dengan baik, misalnya saya berhasil menyelesaikan sidang skripsi, mengurus revisi skripsi, mengurus administrasi pasca sidang, hingga pendaftaran wisuda. Akan tetapi menginjak bulan keempat dan seterusnya segala yang terjadi dalam hidup saya cukup berantakan dan diluar ekspektasi saya. Diawali dengan beberapa masalah administrasi yang terjadi saat saya akan mengurus yudisium, hingga pelaksanaan yudisium yang cukup lama sehingga surat keterangan kelulusan tidak bisa saya dapatkan dengan cepat. Padahal saya harus segera menyetorkan lamaran pekerjaan, saya tidak ingin menganggur lama-lama. Rencana saya sebelum wisuda sebisa mungkin saya sudah mendapatkan pekerjaan, karena jujur saja setelah skripsi selesai saya malu meminta uang pada kedua orang tua saya.

Pada saat itu saya termasuk orang yang getol menanyakan pihak fakultas kapan yudisium diadakan. Sedangkan pihak fakultas masih menunggu kuota yusidium terpenuhi, kalau tidak salah saat saya yudisium ada sekitar 80 mahasiswa. Ya begitulah saya pada saat itu, saya masih sangat idealis dan keras kepala. Saya akan mengusahakan segala cara agar segala yang terjadi dalam diri saya sesuai dengan apa yang telah saya rencanakan.

Saya memang pribadi yang terbiasa hidup dengan perencanaan. Saya merasa dengan adanya perencanaan membantu saya untuk tetap fokus pada arah dan tujuan hidup saya.  Karena kepribadian saya seperti ini ditambah pula dengan hasil seminar-seminar motivasi yang saya ikuti sekaligus buku motivasi yang baca, saya senang membuat target-target hidup. Target ini bisa meliputi target perkuliahan, target dalam setahun kedepan, lima tahun kedepan, sepuluh tahun kedepan, dan sebagainya. 

Mungkin teman-teman tidak asing dengan materi-materi motivasi untuk menuliskan target-target hidup yang akan dicapai, boleh setinggi-tingginya dan dalam batas waktu yang jelas sebagai bentuk afirmasi diri. Iya, itulah yang saya lakukan. Kira-kira seperti ini planning besar saya pada waktu itu:

  1. Lulus kuliah 3,5 tahun dan cumlaude 
  2. Setelah sidang skripsi langsung mendapatkan pekerjaan 
  3. Lulus S1 langsung daftar S2 Profesi 
  4. Menikah di usia 23 tahun 
  5. Lulus S2 Profesi di usia 24 tahun 
  6. Punya anak di usia 25 tahun

Hmm jujur saat ini saya agak ngeri-ngeri sedep untuk melanjutkan cerita ini. Tapi tidak apa-apa akan saya lanjutkan sampai tuntas kok.

Sebagai manusia ya, kita boleh kok memiliki rencana dan ekspektasi. Namanya manusia, pasti tujuan utamanya adalah kesuksesan dan kenikmatan hidup. Tapi perlu dipahami bahwa tidak semua yang kita rencanakan dan usahakan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang kita inginkan. Manusia bisa merancang perencanaan yang terbaik, namun hasil akhir sukses tidaknya rencana tersebut hanya Tuhan-lah yang menentukan. Berdasarkan planning besar saya diatas, berikut hasilnya:

  1. Saya lulus 3,7 tahun dan cumlaude (terhitung 4 tahun sampai wisuda)
  2. Saya sampai 3 bulan setelah wisuda belum mendapat pekerjaan
  3. Saya belum melanjutkan S2 Profesi sampai sekarang (2 tahun setelah lulus)
  4. Saat ini saya di usia 24 tahun dan masih single
  5. Saat ini saya di usia 24 tahun dan belum melanjutkan kuliah
  6. Jangankan punya anak, punya pacar saja tidak wkwk
Lalu kalian tau apa yang terjadi dengan saya setelah banyak ekspektasi saya terpatahkan?

Saya menunjukkan gejala depresi ringan :)

Pada saat itu saya mengalami beberapa ketidakberhasilan pada beberapa rencana hidup yang saya ekspektasikan. Lulus kuliah cepat bukan berarti saya cepat pula mendapatkan pekerjaan, yang ada dalam waktu tiga bulan setelah di wisuda status saya tetap seorang pengangguran. Belum lagi sebelum wisuda saya sudah tidak ada aktivitas/pekerjaan apapun, jadilah selama kurang lebih 6 bulan saya hanya sebagai mbak-mbak rumah tangga alias hanya bersih-bersih rumah saja sambil mengirimkan lamaran pekerjaan dan mengikuti berbagai job fair. Waktu itu saya bahkan sangat menghindari berinteraksi dengan orang lain, saya malu apabila ditanya tentang aktivitas yang saya lakukan karena pasti ujung-ujungnya menyinggung 'kok belum dapat kerja?'.

Kemudian mengenai rencana saya melanjutkan kuliah S2 profesi ternyata tidak semudah angan-angan saya. Untuk melanjutkan S2 profesi memang saya lakukan secara mandiri, alias semuanya dibiayai orang tua saya. Akan tetapi pada saat itu usaha ayah saya tidak begitu baik, hal ini berdampak pada kondisi keuangan keluarga kami. Jadi sebagai anak yang tahu diri, saya tidak mungkin tetap memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah S2. Apalagi biaya untuk melanjutkan S2 profesi tidaklah murah. Akhirnya saya memutuskan untuk menurunkan ego saya dan memutuskan gap year untuk mencari pekerjaan, syukur-syukur saya bisa memenuhi kebutuhan saya sendiri dan membiayai kuliah S2 profesi saya sendiri.

  • Tentang dia

Pada tulisan diatas saya sudah menjelaskan bahwa saya memiliki komitmen dengan seorang pria. Pada saat yang bersamaan dengan gagalnya beberapa rencana hidup saya, hubungan percintaan saya juga bermasalah. Memang kami sudah memutuskan untuk berkomitmen, akan tetapi hubungan kami terlihat kuat di luar tapi rapuh di dalam. Komunikasi kami tidak cukup baik pada saat itu, saya yang belum cukup dewasa, pasangan yang (terlihat) ragu untuk mempertahankan hubungan ini, ditambah kami tidak menemukan titik temu yang tepat ketika hubungan ini dibawa ke jenjang yang lebih serius. Menurut saya begitu banyak ketidakberesan dalam hubungan ini, saya berusaha meluruskan apa yang terjadi akan tetapi pasangan menangkap maksud yang berbeda dengan yang saya maksud. Akhirnya dari ketidakberesan kecil yang tidak segera terselesaikan lama-lama  menjadi besar.

Putus dengan dia saya merasa jiwa saya sangat kosong. Saya senang berada di tempat sepi, tapi saya tidak senang merasa kesepian. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa sangat kesepian, hilang arah, dan tidak memikirkan apapun untuk masa depan saya. Sejak awal saya menjalin hubungan dengan dia saya selalu berdoa agar diberikan jalan yang terbaik dalam hubungan ini. Kejadian itu membuat saya benar-benar berserah diri akan jalan terbaik dari-Nya karena saya sudah benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. 

  • Titik terendah

Sudah pengangguran, tidak ada lamaran kerja yang tembus, gagal melanjutkan kuliah S2, eh ditambah lagi gagal dalam percintaan. Lengkap sudah cobaan hidup saya saat itu. 

Berminggu-minggu saya menggalau, meratapi nasib kenapa tidak ada satupun rencana saya yang berjalan lancar. Paling parahnya saat mengingat nasib percintaan saya, saya hanya bisa menangis. Saya hanya bisa tidur ketika saya sudah capek menangis. Saya tidak bisa memikirkan apapun, untuk pertama kalinya dalam hidup saya otak saya rasanya blank, saya hanya bisa membuka mata tapi untuk mengangkat diri saya rasanya berat sekali. Menelan makanan terasa sangat menyakitkan, dan akhirnya saya kehilangan nafsu makan, kehilangan tujuan hidup, dan kehilangan minat untuk menjalin hubungan dengan pria.

Berkali-kali saya menyalahkan diri saya sendiri. Saya menyalahkan diri saya yang kurang kompeten, kurang cantik, kurang hits, kurang sabar, kurang neriman, dan sebagainya. Huhuhu maaf ya diriku. Kondisi psikis saya berada dalam titik terendah, sangat mudah untuk saya menyalahkan dan menyakiti diri saya sendiri. Saya sangat rapuh, untuk berdiri tegap saya tidak mampu, saya sudah terlalu sakit dan lelah psikis saya pada saat itu.

Dalam ingatan saya di tahun 2019 benar-benar sangat nana-nano. Saya tidak menyebut ini tahun yang sial, tapi tahun inilah yang sangat mendewasakan saya. Diawali dengan kabar baik, dipatahkan oleh ekspektasi-ekspektasi yang saya buat sendiri, lalu bagaimana saya bertahan dan survive di tahun ini?

Bersambung Part 2....

Comments