Seri Inklusif Bagian 1: Mengupas Tantangan Ssosial dan Emosional Remaja Disleksia

Masa remaja adalah fase terpenting dalam perkembangan seseorang. Pada tahap ini, individu mulai mencari jati diri, memperluas lingkaran sosial, serta mengasah kemampuan akademis dan non-akademis. Namun, bagi remaja dengan disleksia, perjalanan untuk menemukan jati diri sering kali menjadi tantangan yang lebih besar. 

Disleksia adalah gangguan belajar spesifik yang mempengaruhi kemampuan belajar. Pada masa kanak-kanak, disleksia sering dikaitkan dengan kesulitan membaca, menulis, dan mengeja. Kondisi ini dapat berlanjut hingga anak memasuki masa remaja. Remaja dengan disleksia mungkin menghadapi hambatan dalam memahami literasi, mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Lebih jauh, kondisi ini juga dapat menyebabkan remaja dengan disleksia kesulitan dalam memahami situasi sosial.

Remaja dengan disleksia menghadapi berbagai tantangan dalam lingkungan sosial yang mempengaruhi kepercayaan diri, harga diri, serta kemampuan untuk membangun hubungan dengan orang lain. Tantangan tersebut meliputi kesulitan dalam mengungkapkan diri, memahami hubungan sebab akibat, melihat suatu kejadian dari berbagai sudut pandang, menilai perilaku diri sendiri dan orang lain, serta mengidentifikasi inti permasalahan dan membuat keputusan yang tepat. Kasus X, seorang remaja berusia 14 tahun yang didiagnosis dengan disleksia, menjadi contoh bagaimana tantangan tersebut dapat dihadapi dengan penanganan yang efektif, sehingga X mampu berdaya dalam lingkungan sosial.

Gambaran Umum Kasus X: Tantangan Remaja Dengan Disleksia

Saya berjumpa pertama kali dengan X pada sesi observasi PSB SMP. Pada tahun ajaran baru, saya diberi amanah untuk menjadi guru pendamping X. Selama beberapa waktu, saya mengamati bahwa X adalah anak yang sopan, tenang, mampu berkomunikasi secara dua arah dengan baik, pandai berhitung, dan dapat menyusun paragraf cerita dengan tepat. Sekilas, sosok X tidak tampak seperti anak dengan disleksia sebagaimana biasanya dideskripsikan.

Selama masa adaptasi di kelas 7, dinamika pertemanan mulai muncul ketika X berinteraksi dalam lingkungan sosialnya. Apalagi sewaktu SD, X berada dalam lingkungan sosial sekolah yang kecil (kurang dari 10 siswa). Namun, ketika SMP, lingkungan sosial sekolah X jauh lebih besar, sehingga dinamika dalam lingkungan sosialnya menjadi sangat beragam.

Saya menemukan berbagai tantangan yang dialami X dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan sosial di sekolah. Tantangan tersebut antara lain: 

  • Kesulitan dalam mengungkapkan diri

Disleksia dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan bahasa pada anak. Kondisi ini sering menyebabkan remaja dengan disleksia mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan atau pendapat mereka, baik secara secara verbal maupun tertulis.

Hal tersebut dialami oleh X. Selain disleksia, X juga memiliki riwayat speech delay pada masa kanak-kanak. Akibatnya, ketika memasuki masa remaja, X menghadapi kesulitan dalam mengekspresikan perasaan yang dirasakan. Bahkan, X juga mengalami hambatan saat menceritakan dinamika sosial yang terjadi di lingkungan sekolah.

Akibatnya, ketika terjadi dinamika dalam lingkungan pertemanannya, X lebih memilih memendam perasaan tidak nyamannya. Terlebih lagi, X adalah tipe anak yang cenderung menampilkan kesan baik-baik saja sambal menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Lambat laun, kondisi ini menjadi bumerang bagi X. Emosi yang tidak nyaman yang terus menumpuk dan tidak ditangani dengan tepat, sehingga hal ini mengubah kepribadian X menjadi lebih emosional dan bahkan memunculkan perilaku agresif.

  • Kesulitan dalam memahami hubungan sebab dan akibat

Pemahaman terkait hubungan sebab dan akibat dalam lingkungan sosial sangat penting bagi remaja. Hal ini karena, remaja yang paham situasi sosial mampu mengembangkan keterampilan empati dan tanggung jawab sosial. 

Salah satu hambatan utama yang dihadapi remaja dengan disleksia adalah kesulitan memahami bahasa sosial yang berkaitan dengan norma dan aturan-aturan tidak tertulis dalan lingkungan sosial. Dalam kasus X, beberapa dinamika yang terjadi bersama teman-temannya di lingkungan sekolah disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap aturan-aturan tersebut.

Sebagai contoh, X adalah remaja yang gemar bermain basket. Saat di sekolah, ia sering menghabiskan waktu istirahatnya untuk bermain basket. Akibatnya, ketika kembali ke kelas, bajunya menjadi sangat basah oleh keringat, dan tubuhnya masih terus berkeringat. X belum memahami bahwa baju yang basah karena keringat dan tubuh yang berkeringat dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi teman-teman maupun guru di ruangan ber-AC.

Pada situasi seperti ini, peran orang dewasa sangat penting untuk membantu X memahami hubungan sebab dan akibat dari suatu peristiwa. Dengan bimbingan yang tepat, remaja dengan disleksia seperti X dapat belajar mengenali dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang ada di sekitarnya. 

  • Kesulitan dalam melihat suatu kejadian dari berbagai sudut pandang.

Remaja dengan disleksia sering kali menghadapi hambatan komunikasi fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada X, yang mengalami kesulitan dalam berbagai aspek komunikasi, seperti mengungkapkan keinginan, meminta bantuan, merespon pertanyaan atau perintah, memerintah, memberi komentar atau tanggapan, menolak atau menyetujui, bercerita secara runtut, dan komunikasi sosial pragmatik (misalnya, komunikasi yang melibatkan adab atau tata cara bersosialisasi). 

Seperti misalnya, suatu hari X melaporkan bahwa ia tiba-tiba ditendang oleh temannya saat sedang tidur di dalam tenda. Namun, X belum mampu menceritakan kejadian tersebut secara utuh dan runtut.  Fokus utama yang disampaikan X adalah bahwa ia ‘ditendang oleh temannya ketika tidur’. Setelah ustaz-ustazah melakukan penggalian informasi lebih lanjut, ditemukan fakta bahwa:

  • X dan temannya tidur di dalam 1 tenda yang sama (1 tenda berisi 3 orang).
  • Temannya telah meletakkan tas di salah satu sisi tenda sebagai tanda bahwa tempat tersebut telah diklaim sebagai tempat tidurnya.
  • X kemudian masuk ke dalam tenda, menyingkirkan tas temannya, dan tidur di tempat yang sudah ditandai tersebut.
  • Hal ini memicu konflik, yang berujung pada aksi tending-menendang di dalam tenda.

Dalam situasi ini, X belum mampu melihat kejadian dari berbagai sudut pandang. X juga belum memahami bahwa keberadaan tas di dalam tenda dapat dianggap sebagai penanda bahwa tempat tersebut sudah dipesan oleh temannya. Selain itu, X belum memahami aturan dasar yang berlaku yaitu pentingnya bertanya terlebih dahulu untuk memastikan tempat tidur masing-masing orang yang ada di dalam tenda.

  • Kesulitan dalam menilai perilaku diri sendiri dan orang lain.

Remaja dengan disleksia sering mengalami kesulitan dalam menilai perilaku diri sendiri dan orang lain. Kesulitan ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk bersosialisasi dan berdaptasi di lingkungan sosial. Contohnya, X merasa bahwa dirinya tidak memiliki teman selama di SMP, meskipun sebenarnya ia telah bersahabat baik dengan beberapa teman satu angkatan. Hal ini membuat X frustrasi karena ia menginginkan circle pertemanan yang besar. 

Rasa frustasi tersebut berdampak pada rendahnya kepercayaan diri X dalam bersosialisasi di lingkungan sekolah. Ia merasa tidak kompeten dalam berinteraksi, sehingga menganggap bahwa tidak banyak teman yang ingin berteman dengannya. Namun, meskipun circle pertemanannya tidak besar, X memiliki teman-teman yang dapat diajak belajar dan bermain bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Ketidakmampuan X untuk menilai perilaku dan situasi secara objektif sering membuatnya lebih reaktif secara emosional. Akibatnya, X terkadang merasa sedih atau marah tanpa alasan yang jelas bagi orang lain. 

  • Kesulitan dalam melihat inti permasalahan dan mengambil keputusan yang tepat.

Remaja dengan disleksia sering mengalami hambatan dalam melihat inti permasalahan dan mengambil keputusan yang tepat, karena kesulitan mereka dalam memproses informasi secara efektif. Kesulitan ini dapat menyebabkan lambatnya pemahaman atau bahkan kegagalan untuk mengidentifikasi inti masalah, yang pada akhirnya berdampak pada pengambilan keputusan yang kurang tepat dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Hal ini pernah dialami oleh X. Ia menceritakan bahwa dirinya beberapa kali memberikan uang pada kakak tingkatnya, yang juga beberapa kali meminta uang darinya. Suatu ketika, X merasa kesal dan marah karena kakak tingkat tersebut tidak memberikan uang kepadanya saat ia kehabisan uang. Ketika guru wali dan guru pendamping menggali lebih jauh mengenai kejadian ini, terungkap bahwa pada awalnya kakak tingkat tersebut  meminjam uang untuk menutupi kekurangan pembayaran, yang kemudian telah dilunasi. Namun, pada kesempatan berikutnya, X secara inisiatif menawarkan uang kepada kakak tingkat tersebut setelah menerima uang bulanan.

X menganggap bahwa memberikan uang kepada teman adalah perbuatan yang baik. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata X memiliki pandangan bahwa ketika ia memberikan atau meminjamkan uang kepada orang lain, orang tersebut seharusnya bersedia memberikan atau meminjamkan uang kembali kepadanya saat ia membutuhkan.

Hal ini menyebabkan kesalahpahaman antara X dan kakak tingkatnya, mengingat akad awal yang terjadi adalah pemberian uang secara sukarela, namun kemudian berubah menjadi persepsi utang yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak.

🌙

Lalu, bagaimana strategi pendampingan yang tepat bagi remaja dengan disleksia? Simak pembahasan selengkapnya dalam Seri Inklusif Bagian 2: Strategi Pendampingan Remaja Disleksia Di Lingkungan Sekolah

Comments