Pendakian Pertama di Gunung Pundak: Jatuh Bangun yang Mengesankan

*Desclimer: Tulisan ini mungkin akan sangat panjang. Harap tenang dan sabar 😀

Tulisan ini sebenarnya sudah bersarang lama sekali di draft blog saya. Saya memulainya seminggu setelah pendakian, tepatnya pada tanggal 22 Mei 2022. Namun hingga memasuki bulan September, cerita ini belumlah selesai. Kali ini saya berusaha kembali untuk menyelesaikan cerita ini, bismillah!

🌙

Pernah nggak sih temen-temen ngalamin suatu kejadian dimana temen-teman nggak menaruh ekspektasi apapun pada suatu hal, tapi ternyata hal tersebut melebihi ekspektasi yang kita harapkan?

Atau sebaliknya, temen-temen menaruh ekspektasi yang tinggi pada suatu hal tapi hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita ekspektasikan?

Saya pernah mengalami keduanya, tapi yang baru saja persis saya alami pada pernyataan pertama yakni "tidak menaruh ekspektasi apapun, tapi hasilnya melebihi ekspektasi yang saya harapkan".

Jadi ceritanya, saya tidak pernah berkeinginan/bercita-cita/punya angan-angan sedikit pun untuk mendaki gunung. Sekedar membayangkan saja cukup membuat pikiran saya sumpek sendiri. Saya nggak bisa bayangin saya menyusahkan diri sendiri hanya sekedar menikmati sensasi trip ala-ala pendaki kekinian yang sedang hits. Pun saya tidak mau mengeluarkan banyak uang untuk membeli perlengkapan pendakian yang notabene bukan barang yang murah, dan juga kalau di gunung kan tidak ada kamar mandi tuh sedangkan saya sangat menghindari hal tersebut karena saya sangat sensitif dengan kamar mandi yang kotor. Tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan kantor saya mengadakan gathering adventure di Gunung Pundak, dan semua karyawan wajib ikut. Sudah tentu banyak sekali yang menolak kegiatan ini, termasuk saya sendiri. Tapi tetap saja acara tetap dilaksanakan.

Foto pendakian pertama saya

Ini pengalaman pendakian pertama saya, saya akan mendaki di puncak Gunung Pundak (1585 MDPL). Ternyata untuk mendaki gunung saya membutuhkan persiapan banyak hal, diantaranya:

1. Persiapan Psikis

Ini yang paling penting sih karena dari awal saya merasa tidak ikhlas untuk naik gunung, saya takut ketidakikhlasan ini membuat beban saya lebih berat ketika mendaki. Jadi meskipun saya tidak setuju dengan adanya kegiatan gathering adventure ini, saya mau tidak mau harus melapangkan hati biar mempermudah langkah pendakian saya. 

Saya menyadari ketika perjalanan ke puncak gunung ternyata track yang dilalui sangat berat sekali, akan lebih berat jika hati saya tidak ikhlas, saya banyak mengomel, tidak sabar, banyak mengeluh, dan ego yang tinggi. Untunglah ketika briefing keberangkatan saya memantapkan hati untuk "Bismillah, inshaAllah kuat sampai puncak. Dilancarkan perjalanannya" dan saya memberikan sugesti pada pikiran saya kata-kata yang baik dan positif. Alhamdulillah perjalanan naik ke puncak Gunung Pundak berjalan dengan lancar tanpa suatu kendala apapun, selamat sampai tujuan.

2. Persiapan Fisik

Selain persiapan psikis, persiapan fisik juga tidak kalah pentingnya loh. Persiapan fisik bisa dilakukan dengan lari-lari santai, jalan santai dengan track yang panjang, atau naik turun tangga. Persiapan fisik yang saya lakukan untuk naik gunung ini hanya 3 hari, sebetulnya ini salah banget. Harusnya saya melakukan persiapan sebulan sebelum pendakian dan dalam durasi yang cukup lama, karena pendakian saya H+10 setelah lebaran maka saya tidak bisa mempersiapkan fisik dengan maksimal karena saat itu saya masih sibuk-sibuknya kerja dan terbentur jadwal puasa. Akhirnya dengan modal bismillah semoga saya selamat sampai ke tujuan.

3. Persiapan Alat

Kalau tidak karena pendakian ini, saya tidak tahu loh kalau harga alat-alat pendakian sangat mahal. Bisa dibilang naik gunung bukanlah hobi yang murah, bayangin aja berapa banyak perlengkapan yang harus kita bawa untuk keperluan pendakian ini, ada tenda full set, nesting, kompor dan gas portable, jaket gunung, sepatu gunung, celana gunung, tracking pole, tas carrier, sleeping bag, matras, dan sebagainya. Untunglah waktu acara gathering ini kami hanya membawa barang-barang keperluan kami saja, sedangkan untuk tenda, air, beras, mie sudah disiapkan oleh panitia. Tapi bukan begitu kami bisa santai-santai tidak mengeluarkan effort apapun dalam pendakian ini, oh tentu saja tidak. 

Saya harus beli celana yang nyaman untuk pendakian. Saya beli celana trainning yang murah meriah sekitar 35k di Sh*pee, saya memilih beli ini karena harganya jauh lebih murah dibandingkan celana gunung dari brand-brand pendakian. Lalu saya beli sepatu running, saya beli ini karena memang saya tidak punya sepatu running, adanya sepatu buat nongkrong. Saya beli sepatu running dengan pertimbangan agar tetap bisa dipakai kembali diluar momen pendakian, kalau saya beli sepatu gunung kan hanya bisa digunakan untuk pendakian saja, lagi pula sepatu gunung harganya tidak ramah di kantong saya.

Kemudian saya beli sleeping bag dan matras. Saya beli ini karena mempertimbangkan kalau saya pinjam ke rental pendakian kok dihitung-hitung lumayan mahal juga jatuhnya, harga sewa setengah dari harga barang aslinya. Akhirnya saya memutuskan beli saja toh sleeping bag dan matras nanti bakal dipakai kembali di kemudian hari misal kalau ada acara naik gunung lagi atau acara-acara yang perlu untuk menginap (maklum kantor saya seringkali ada acara yang menginap sebelum pandemi). Selain saya membeli alat-alat diatas, beberapa alat ada yang saya dapatkan dengan cara sewa atau pinjam seperti headlamp dan tas carrier.

🌙

Setelah semua persiapan sudah selesai, saya harus mendaki bersama kelompok yang sudah dipilihkan oleh panitia sebelumnya. Dalam satu kelompok berjumlah 4 orang termasuk saya. Karena saya bekerja di lembaga pendidikan yang menaungi dari jenjang PG-TK, SD, SMP, dan SMA, maka pemilihan kelompok digabungkan semua jenjang, usut punya usut nih memang ada beberapa kesengajaan panitia mengelompokkan antara orang satu dengan orang yang lainnya karena perbedaan sifat, pernah tidaknya berkonflik, dan sebagainya. 

Kelompok saya sendiri pun punya cerita. Diawal pembagian kelompok kami beranggotakan 4 orang dari berbagai jenjang pendidikan, ada Ustadzah A dari PG-TK, Ustadzah H dari SD, Ustadzah E dari SMA, dan saya sendiri dari SMP. Kelompok kami benar-benar tidak ada interaksi apapun dari awal pembagian, kami hanya membuat grup WhatsApp dan tidak banyak berkomunikasi di grup tersebut. Saya melihat beberapa kelompok lain yang bahkan sudah beberapa kali meet up untuk mendiskusikan persiapan mereka. Sedangkan kelompok saya tidak pernah meet up sama sekali, grup tidak ada pembahasan, bahkan diskusi-diskusi kecil pembagian barang atau obrolan-obrolan ringan tidak ada sama sekali. Saya awalnya skeptis, bisakah pendakian ini akan menciptakan momen yang menyenangkan?

Baca juga Dunia Kepenulisan dan Pengembangan Diri

Menjelang H-3 keberangkatan barulah grup WhatsApp saya mulai ada tanda-tanda kehidupan. Beberapa anggota kelompok kami mulai membahas pembagian barang bawaan untuk kelompok dan barang bawaan pribadi. Selain itu ternyata salah satu anggota kelompok kami baru menyadari bahwa beliau sedang hamil, jadilah beliau memutuskan tidak akan ikut naik gunung. Tibalah H-2 keberangkatan salah satu anggota kelompok kami mendapatkan informasi bahwa akan ada anggota baru, dan ternyata benar saja ada anggota baru yang bergabung di kelompok kami.

Kami tidak pernah berpikir sebelumnya untuk membangun bounding antar anggota kelompok sebelum momen keberangkatan. Interaksi diantara kami hanya seputar tanggung jawab membawa barang-barang yang telah ditugaskan. Pun dalam keseharian kami, kami berempat tidak begitu dekat satu sama lainnya. Jadi inilah cerita pendakian pertama saya dengan dengan teman-teman yang baru, yang belum memiliki kedekatan secara emosional, dan cerita ini akan berlangsung selama 2 hari 1 malam.

                                                                       ðŸŒ™

Cerita pertama saya diawali dengan rangkaian kegiatan kami. Sebelum kami mulai pendakian ke Gunung Pundak, terlebih dahulu kami di kumpulkan di Taruna Loka. Taruna Loka ini semacam gedung serbaguna yang bisa juga dibuat penginapan karena ada beberapa kamar. Di Taruna Loka kami diberikan seminar membangun teamwork dan motivasi kerja, setelah itu kami bersilaturrahmi dengan warga sekitar sekaligus makan siang dan sholat. Setelah sholat dhuhur kami bersiap-siap untuk naik ke Gunung Pundak.

Track perjalanan diawal-awal masih seru sekali. Pemandangan di sekitar jalan menuju Gunung Pundak yang dilalui sangat cantik, gunung-gunung yang hijau dan tinggi, udara yang sejuk, bunga-bunga liar yang tumbuh subur dengan cantiknya, dan aliran sungai yang menenangkan. Pendakian pertama kami awali dengan mendaki hutan pinus, sebenarnya ini belum masuk track pendakian sih cuma memang jalannya agak naik tapi sebanding dengan pemandangan hutan pinus yang sangat indah.

Bersama teman-teman melewati hutan pinus

Lalu memasuki track pendakian yang sesunguhnya disinilah cobaan hidup baru dimulai. Saya tidak menyangka bahwa mendaki gunung akan sesusah itu, bahkan untuk bernafas saja sangat susah sekali. Di track awal ini ingin sekali saya menyerah dan kembali ke Taruna Loka, mumpung belum jauh begitu pikir  saja. Akan tetapi teman-teman kelompok saya sangat supportif, mereka membantu mengenalkan langkah-langkah pengaturan pernafasan ketika pendakian, menemani saya ketika saya tidak sanggup melangkah, dan selalu menyemangati saya. Saya yang tadinya ingin menyerah, melihat bagaimana teman-teman saya mendukung dan tidak meninggalkan saya, menjadikan saya memiliki keberanian dan kekuatan untuk terus berjalan menuju puncak.

Qodarullah setelah melewati banyak drama pendakian yang sangat luar biasa hebatnya, saya dan kelompok sampai di puncak Gunung Pundak dengan selamat. Iya, saya dan seluruh anggota kelompok, tidak terpencar satu orang pun. MasyaAllah, saya bersyukur sekali berada di tengah-tengah kelompok ini. Begitu supportifnya kelompok saya, dari awal keberangkatan hingga sampai di puncak mereka selalu membantu saya dan tidak meninggalkan saya.
🌙

Setelah sampai puncak, kami langsung mencari tenda. Kami pikir tendanya kami pasang sendiri, ternyata tenda sudah dalam posisi terpasang dan kami tinggal memilih yang masih kosong. Setelah mendapatkan tenda, kami bersama-sama menata tempat tidur, bergantian untuk ganti baju, dan memasak makanan. Tidak saya sangka padahal kesepakatan kami di awal hanya bawa makanan secukupnya untuk diri sendiri, ternyata ada 1 anggota kelompok saya yang bawa cukup banyak makanan. Sehingga pada malam itu makan malam kami seperti pesta pora, kami juga mengundang dan turut membagikan makanan kami dengan anggota kelompok lainnya.

Setelah sholat isya' kami ada sesi api unggun bersama sebelum kami tidur. Setelah acara api unggun selesai, kami kembali ke tenda masing-masing. Sebelum tidur, kami melakukan deep talk terlebih dahulu hingga kami sama-sama capek dan tertidur. Sebenarnya saya tidak benar-benar tertidur waktu itu, meskipun saya capek sekali dan saya dalam posisi tertidur, akan tetapi alam bawah sadar saya masih belum sepenuhnya terlelap. Saya masih mendengar sayup-sayup orang berbicara, apalagi letak tenda saya di belakangnya ada tempat untuk BAK. Jadi meskipun dalam posisi tidur saya masih dengar celotehan "temenin aku pipis" haduuh. Menjelang pukul 01.00 dini hari udara sudah mulai dingin sekali dan saya semakin kedistrak dengan suara-suara meskipun sedang tidur, hingga akhirnya saya tetap melanjutkan tidur saya meskipun tidak bisa tertidur lelap. 

Baca juga Meluruskan Makna Self Healing. Bukan Jalan-Jalan!

Di pagi harinya, setelah bangun tidur kami berjalan-jalan di sekitar wilayah tenda. Kami melihat sunrise dan pemandangan di sekitarnya. MasyaAllah indah sekali pemandangan disana, saking indahnya saya hanya terfokus menatap pemandangan tersebut tanpa heboh mengabadikannya. Tapi saya sempat berfoto meskipun beberapa foto pemandangan alamnya failed karena kamera saya kurang mahal hehe 

Mencari sunrise

Setelah mengemasi barang dan membereskan area perkemahan, kami akan turun gunung. Perjalanan menuruni gunung pun tidaklah mudah. Kaki saya harus menekan dan mengerem dengan kuat, selain itu jalanan yang kami lewati sangatlah licin dan terjal. Beberapa kali saya terpeleset bahkan jatuh, untungnya saya masih sehat wal afiat hingga saat ini. Setelah saya kembali ke Taruna Loka, saya merasakan kaki saya njarem-nya masyaAllah sehingga saya kesusahan untuk jalan. Dan sudah saya duga, sesampainya saya dirumah hingga 4 hari kemudian saya berjalan dengan pincang-pincang karena kaki saya nyeri sekali. Pun ketika sholat, saya harus lakukan dengan duduk karena kaki saya tidak bisa ditekuk. Bahkan kuku jari jempol kaki saya menghitam karena terlalu kuat bergesekkan dengan sepatu saya.

Menghela napas sejenak...

Sesungguhnya dari segala penderitaan dan kesenangan yang saya alami ketika mendaki gunung, saya belajar beberapa hal. Diantaranya:

  1. Jangan meng-underestimate diri sendiri. Kita tidak pernah tau seberapa hebat dan kuatnya diri kita sebelum kita mencoba hal yang kita takutkan.
  2. Kekuatan selangkah demi selangkah. Apa yang selama ini menjadi ketakutan kita, nyatanya kita bisa menghadapi hal tersebut dengan melangkah selangkah demi selangkah. Tanpa mencoba untuk melangkah, ketakutan akan tetap ada dan kita tetap pada posisi semula. Dengan melangkah, sedikit demi sedikit kita bisa belajar menghadapi rintangan yang ada dan bahkan berteman dengan rintangan. Kekuatan ada karena kita berani untuk melangkah.
  3. Rezeki tidak selalu tentang uang. Jika selama ini pandangan saya rezeki = uang, sekarang tidak lagi. Saya benar-benar merasakan sendiri bahwa rezeki bisa datang dalam berbagai hal, seperti mendapat teman kelompok yang supportif, selamat sampai tujuan dari keberangkatan hingga kepulangan, bisa merefleksikan dan mengambil hikmah dalam setiap kejadian.
Alhamdulillah akhirnya tulisan ini selesai juga, selesai pada tanggal 10 September 2022. Terima kasih telah membaca cerita perjalanan ini sampai akhir. Sehat selalu teman-teman..

Sandyakala 💗

*BONUS FOTO-FOTO



Sunset-nya bagus banget 

Yey, dapat juara kelompok hihi



Comments

Post a Comment