HUKUM MENGUNCI MUSHOLLAH


Saya mau membagikan cerita yang saya alami hari ini kepada teman teman sekalian. Kebetulan, saya dan teman saya membantu BAZNAS kota Malang mengantarkan surat untuk sosialisasi Madrasah enterpreneur di MI & MTS se-kota Malang. Perjalanan ini begitu melelahkan bagi kami, karena kami bisa dibilang buta jalan. Sehingga kami hanya mengandalkan google maps sebagai petunjuk arah dari satu sekolah ke sekolah yang lainnya. Karenanya waktu kami cukup banyak terbuang secara percuma karena petunjuk di maps membuat kami mengintari jalan yang sama.

Karena kami masih mahasiswa, maka kami pun memanfaatkan waktu senggang kami untuk mengantarkan surat ini. Sialnya, pada pagi hari kami disibukkan oleh perkuliahan. Maka kami pun bisa start sekitar pukul dua siang. Sesampainya ke sekolah yang dituju, raut bahagia terpancar di wajah kami ketika melihat guru yang masih ada di sekolah. Maklumlah pada jam-jam segitu, anak-anak banyak yang sudah pulang jika sekolah tersebut bukanlah menganut sistem full day school. Setelah mengantarkan surat, kami pun melanjutkan perjalanan ke sekolah selanjutnya dan begitupun seterusnya.

Hari ini, dari jatah 24 sekolah yang harus kami berikan surat. Dua puluh sekolah sudah selesai dalam misi hari ini. Tinggal empat surat yang belum kami berikan karena terkendala Madrasahnya yang sudah tutup. Akhirnya, kami pun menyudahi perjalanan hari ini.

Kemudian, kami pun melepas lelah sembari memuaskan dahaga dan lapar di sebuah warung makan. Waktu sudah menginjak pukul 16.00 WIB, namun kami belum menunaikan kewajiban kami sebagai ummat muslim. Yah, kami belum menunaikan sholat ashar. Di dalam warung tersebut memang disediakan tempat sholat, namun toilet didalamnya rusak. Sehingga kami pun tidak bisa mengambil wudhu. Akhirnya, kami pun berniat untuk mencari Masjid/Musholla di sepanjang perjalanan.

Akhirnya, kami pun menemukan sebuah Musholla didalam perkampungan warga. Setelah memarkirkan sepeda motor pada tempatnya, kami pun segera memasuki Musholla tersebut. Pertama kali menginjakkan kaki di dalam Musholla tersebut, kami pun merasakan sesuatu yang mengganjal. Setelah kami telusuri, ternyata Mushollanya dikunci! Iya, dikunci!. Sontak kami pun kaget bukan kepalang, bukannya Musholla ini berada di wilayah pemukiman padat penduduk, tapi mengapa kok dikunci segala?

Tak mau bergelut dengan pikiran terlalu lama, saya pun segera mengambil wudhu. Untunglah, saya membawa mukena didalam tas sehingga saya berpikir saat itu tidak masalah jika harus sholat di teras Musholla. Selesai mengambil wudhu dan memakai mukena, seorang ibu yang berumur 40 tahuan datang kepada kami sembari membawa kunci dan mempersilahkan kami masuk. Kebetulan rumah ibu tersebut menghadap Musholla, dan hanya butuh 1 langkah untuk menuju Musholla. Pikiran saya pun semakin berkecamuk, tetapi saya langsung bergegas menunaikan kewajibanku.

Setelah sholat, saya melihat-lihat sekeliling Musholla. Karpetnya tampak bersih dan nyaman, suhu udaranya pun sejuk, dan yang terpenting inventaris Musholla lengkap. Hingga saya pun berpikir, "mengapa Musholla dikunci?".

Saya rasa, mengunci Musholla dan Masjid bukanlah sesuatu yang tepat. Karena menurut saya, dua tempat tersebut merupakan rumah Allah swt, tempat manusia beribadah kepada-Nya sekaligus menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Musholla dan Masjid harus terbuka selama 24 jam. Karena selain sebagai tempat peribadatan, tak jarang para musafir memanfaatkannya sebagai tempat istirahat sembari menunggu waktu sholat tiba.

“Madzhab hanafi berpendapat bahwa mengunci pintu masjid hukumnya adalah makruh tahrim sebab identik dengan menghalangi shalat. Sedangkan menghalangi shalat adalah diharamkan karena firman Allah ta’ala: ‘Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya?’ (QS Al-Baqarah[2]: 114),” (Lihat al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Mesir, Darus Shafwah, juz XXXVII, halaman 288).

Namun, jika penguncian Musholla dan Masjid disertai dengan alasan yang logis (misal, rawan akan pencurian) menurut saya sah-sah saja. Saya sering kali mendengar kabar tentang penculikan inventaris Musholla dan Masjid. Karenanya, saya menduga hal itulah yang menyebabkan banyak masyarakat memilih untuk mengunci Musholla dan Masjid ketika tidak digunakan.
“(Tetapi) pandangan yang memakrukan penutupan pintu masjid disangkal. Maka dikatakan, bahwa hal ini berlaku pada masa lampau. Adapun zaman sekarang di mana banyak sekali tindakan kriminal maka tidak apa-apa mengunci pintu masjid untuk menjaga barang-barang masjid dan menjaga masjid dari jalan rumah sekitarnya...,” (Lihat Badruddin az-Zarkasyi, I’lamus Sajid bi Ahkamil Masjid, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1416 H/1995 M, halaman 239).
Saya tidak berniat untuk menghakimi masyarakat yang memilih untuk mengunci Musholla dan Masjid demi keamanan inventaris. Semuanya saya kembalikan dalam diri individu masing-masing, dan saya tetap bersuudzon terhadap masyarakat tersebut karena saya rasa, semua yang dilakukan pasti telah disepakati oleh seluruh pihak pengelola.
Saya rasa, kedua pandangan ini tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa kita ambil sesuai dengan kondisi dan situasi di mana masjid itu berada. Jika memang daerah sekitar masjid rawan kriminalitas seperti pencurian, pandangan yang memperbolehkan untuk mengunci pintu masjid selain waktu shalat bisa kita pakai. Tetapi jika lingkungan sekitar masjid aman dan kecil kemungkinan adanya kriminalitas, pendapat yang menyatakan tidak boleh mengunci masjid di luar waktu shalat bisa kita rujuk.

Malang, 14 Maret 2018

Referensi: www.nu.or.id

Comments